Mengapa 'NII' Seakan Dipilih Kasih?

Bendera NII
Ada yang terasa mengganjal seputar sikap pemerintah dalam wacana publik seputar keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) Komendemen Wilayah IX (KW 9).

Ada kesan kuat di masyarakat, betapa pemerintah seolah tidak memiliki kuasa untuk menyigi keberadaan NII KW 9 yang dituding lekat dengan keberadaan Presantren Al Zaytun di Indramayu.

Tentang kasus yang ditengarai melibatkan NII, masyarakat sudah terlalu sering mendengarnya. Ada sekian ratus kasus, sekian banyak bukti kriminal yang melibatkan orang-orang yang terlibat. Ada penculikan, kehilangan dan pencurian. Ujung-ujungnya, selalu saja mentok pada bangunan besar bernama Pesantren Al Zaytun.

Persoalannya, bahkan meski desakan publik, munculnya LSM yang didirikan karena peduli akan kejahatan kalangan ‘NII’ bahkan pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sudah bereaksi kongkret. Ada kesan kuat bahwa pemerintah seolah tak begitu peduli. Tujuh tahun lalu kasus NII ini mencuat. Merebak menjadi pengisi halaman satu koran dan liputan utama televisi. Tetapi kemudian, kita tahu, semua itu mati.

Lalu saat ini, ketika penculikan para mahasiswa kembali merebak dan nama ‘NII’ lagi-lagi disebut, pemerintah juga tak banyak beranjak. Lihat komentar Menko Polhukam, Djoko Suyanto di layar TV. Semua pernyataan ambigu, bahkan terasa tanpa asa untuk bergerak. Mulai dari NII yang belum bisa dianggap makar karena baru bersifat mengajak orang, hingga belum jadinya organisasi itu sebagai ancaman nasional.

“Kalau hanya menghimbau dan meminta untuk mengikuti NII, kan tidak bisa dikatakan menggangu kedaulatan negara,” ujar Djoko. “NII belum menjadi ancaman Nasional. Gerakan NII belum merupakan gerakan yang bersifat massif,” kata pejabat yang sama di sebuah Koran nasional.

Pernyataan dari otoritas sangat tinggi untuk urusan keamanan itu wajar menciutkan nyali. Apakah artinya sebuah gerakan yang nyata-nyata sudah aktif mengajak, melakukan perbuatan kriminal, tetap dibiarkan dan dianggap belum menjadi ancaman nasional meski korban telah tergeletak dengan jumlah ratusan, hanya karena gerakan itu dianggap belum masif.

Semasif apa sebuah gerakan dibiarkan hingga negara layak membuka mata? Apakah bilamana sudah ada ledakan bom di berbagai tempat? Bila kasus NII disandingkan dengan para tertuduh terorisme, dengan gampang kita melihat perbedaan langit dengan bumi.

Sementara mereka yang dituding terlibat terorisme begitu gampang ditangkap, bahkan dibunuh, mereka yang bau-baunya kencang terlibat gerakan NII, justru dibiarkan dan terkesan dibina.
Pasalnya, hingga kini publik belum pernah mendengar adanya pemeriksaan terhadap Pesantren Al Zaytun dan pemimpinnya, Panji Gumilang. Pemeriksaan saja pun tidak. Sementara, aneka testimoni dan temuan fakta sudah lama mengarah ke sana.

Karena itu lumrah adanya, bila masyarakat curiga. Jangan-jangan, ini hanyalah warisan intelijen ala Ali Murtopo. Guliran yang ada seolah sah untuk membuat orang berkata, mungkin saja pesantren itu, pemimpin dan gerakannya memang dibina untuk digunakan bila perlu oleh kepentingan tertentu.

Jika sumber-sumber NII ‘asli’ sendiri, yakni alm Abdul Fatah Wirananggapati, mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII, yang bertugas memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah (KW), menyatakan adanya keterlibatan intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke tubuh NII melalui mendiang Adah Jailani, keberadaan NII KW 9 ini memang layak dicurigai.

Kita tahu, Adahlah yang mengangkat Abu Toto alias Panji Gumilang sebagai pimpinan KW IX, yang sejak 1993 membangun struktur di bawahnya hingga meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Sayang, pertemuan penulis dengan Adah pada sekitar 2002 lalu tak banyak menghasilkan fakta. Tak juga mendapatkan konfirmasi atas kesaksian Abdul Fatah tentang putusnya hubungan antara NII dengan apa yang disebut NII KW 9 itu. Adah yang sudah harus berkursi roda menolak bicara.

Taruhlah, pemerintah merasa tak bisa masuk dalam urusan yang ditudingkan MUI terhadap NII KW 9, yakni menafsirkan Al-Qur’an sesuai kepentingan organisasi, memaknai salat seenaknya, mengubah zakat jadi harakah Ramadhan dan harakah Qurban, melaksanakan haji ke ibu kota negara yakni Indramayu –Jabar, mengkafirkan orang di luar kelompok, menyamakan posisi negara dengan Allah dan para pimpinan mereka sebagai rasul serta menghalalkan segala cara untuk meraih target pengumpulan dana.

Tetapi pada sisi-sisi kriminal, negara sudah lama telat bereaksi. Mengapa sangat sulit untuk sekadar membuka sebuah investigasi serius soal ini? Mengapa lebih memilih mencari banyak alasan yang kadang terasa janggal? Sudah saatnya negara menjauhkan warganya dari kemungkinan berkata,” Jangan jangan...”

Opini: Ava Larasati

Masukan E-mail anda kemudian klik Subscribe dan dapatkan Update Content terbaru secara GRATIS:



Source:Inilah.com

Silahkan Baca Info Terkait